”W
”Setelah pasti bisa pulang, kita langsung belanja. Beli-beli kurma, baju, untuk orang rumah sama untuk kita sendiri, termasuk sandal ini,” kata Ngatmi (43), yang bersama Wati akan pulang ke kampung mereka di Kutoarjo.
Wajah Wati ataupun Ngatmi amat cerah. Mereka bahagia bisa segera kembali ke rumah setelah bekerja di Timur Tengah sebagai pembantu rumah tangga (PRT). ”Lega rasanya. Apa pun paling enak, ya di rumah sendiri,” kata mereka.
Wati, Ngatmi, dan puluhan perempuan di ruang tunggu itu pantas merasa lega. Mereka telah bekerja sebagai PRT rata-rata tiga bulan sampai dua tahun lebih di Dubai, Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, dan beberapa negara lain di sekitarnya. Rasa kangen terhadap kampung halaman sudah membuncah. Mereka kebetulan tenaga kerja legal yang disalurkan oleh satu agensi yang sama.
Menurut Wati, agensinya
”Saya sudah ganti enam kali majikan selama 2,5 tahun di Kuwait. Kadang karena tidak kerasan, terus minta ganti majikan. Penyebab tidak kerasan terbanyak, ya soal kekerasan dari majikan,” kata Sa’diyah (38), warga Cimahi.
Ketika pembicaraan merembet ke masalah kekerasan, wajah-wajah para penyumbang devisa bagi Indonesia itu pun langsung mendung. Dari sekitar 40 tenaga kerja perempuan yang Kamis itu akan menuju Jakarta, hampir semuanya pernah merasakan kekerasan selama bekerja.
”Itu si Kokom betis kirinya masih bernanah, bekas disetrika sama majikan perempuannya. Kalau saya sering dicambuk di punggung, telapak tangan, atau mana pun sesuka mertua majikan saya,” kata Sa’diyah.
Kekerasan fisik, verbal, hingga tindakan ataupun sikap tidak menyenangkan jamak dialami tenaga kerja asal Indonesia, khususnya para perempuan. Kokom, misalnya, perempuan 28 tahun asal Sukabumi itu tak hanya menanggung siksa fisik, tetapi juga harus rela kehilangan satu tas besar berisi pakaian, foto bayinya, sampai uang Rp 200.000 yang dibawanya dari rumah.
”Semua disita majikan,” katanya.
Ia tidak tahu alasan penyitaan. Namun, pada setiap akhir minggu, Kokom mendapat paket baju, pakaian dalam, dan alat mandi. Jika salah melaksanakan perintah majikan, ia akan dihadiahi bentakan atau siksaan fisik.
Namun, majikannya terkadang amat baik. Kokom pernah diajak ke Paris menemani majikan perempuan, majikan laki-laki, dan dua anak mereka.
Nasib baik dan nasib buruk juga pernah bersamaan menimpa Sa’diyah. Majikan laki-lakinya sudah terkenal suka memerkosa pekerja perempuan di rumahnya. Namun, Sa’diyah lolos dari terkaman nafsu majikan setelah ditolong oleh ibu si majikan sendiri.
”Ibu itu bilang ke saya, pokoknya saya tidak akan dikerjai lagi sama anaknya. Tetapi, ia minta saya tidak lapor ke agensi atau polisi. Ia terus jaga saya selama delapan bulan, bonus uangnya juga banyak,” cerita Sa’diyah yang mengaku dibayar sampai 1.000 dirham setiap bulan atau sekitar Rp 2,5 juta.
Orang-orang seperti Sa’diyah mengaku rela bertahan bekerja karena memang mengejar iming-iming upah. Nilai uang Rp 2 juta-Rp 3,5 juta merupakan upah yang amat menggiurkan bagi mereka. Rata-rata para tenaga kerja perempuan ini sudah memiliki keluarga. Suami mereka tidak bisa memberi kecukupan nafkah, sementara anak-anak dan orangtua mereka amat butuh biaya untuk kehidupan sehari-hari.
Pendidikan formal para perempuan itu maksimal hanya lulus sekolah menengah atas, mempersempit cakupan lowongan kerja. Baik di kampung halaman maupun di luar negeri, tawaran pekerjaan tak jauh-jauh dari pembantu rumah tangga, pelayan toko, atau kerja kasar di pasar. Mau buka usaha, lagi-lagi modal tidak ada. Tidak heran jika para perempuan itu berkeras mau bekerja di luar negeri meski penuh risiko. Harapannya, setelah satu-dua tahun bekerja, mereka bisa pulang membawa modal untuk memulai usaha di kampung.
Latar belakang ekonomi, sosial, dan pendidikan Sa’diyah dan kawan-kawannya memperburuk kondisi mereka saat di luar negeri. Meskipun berada di bawah naungan agen penyalur tenaga kerja resmi dan mendapat pelatihan khusus sebelum dikirim ke luar negeri, tetap saja sebagian besar dari mereka mengalami gegar budaya.
”Bahasa Arab yang diajarkan juga sedikit sekali, saya susah
Kurangnya keterampilan ini turut menghantui mereka saat berada di pesawat. Selama delapan jam perjalanan menembus langit Dubai menuju Jakarta, banyak dari tenaga kerja perempuan ini hanya bisa menatap tak mengerti saat pramugari berbicara dalam bahasa Inggris. Tawaran minum dan makan pun nyaris terlewatkan.
Lain lagi cerita Wati yang saat masuk ke kamar kecil bisa mengunci pintu. Namun, seusai menuntaskan hajat, ia kebingungan membuka pintu. Buntutnya, Wati pun terkunci di dalam kamar kecil pesawat selama hampir 20 menit!
Seorang pramugara dalam bahasa Arab berulang kali mencoba memberi instruksi cara membuka pintu, tetapi Wati menjawab dengan setengah menangis bahwa ia sama sekali tidak paham. Beberapa penumpang yang kebetulan warga Indonesia dan bukan TKI turun tangan membantu Wati. Dengan wajah pucat dan malu, Wati pun akhirnya bebas dari kamar kecil. Sungguh, ironi yang menggelikan sekaligus menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar